(Bagian kedua dari penuturan FX. Priyanto)
Meski Bapak terkesan disiplin dan cenderung keras, tapi sebenarnya beliau suka humor. Ini diakui oleh mereka yang mengenal Bapak.
Kalau Bapak, Pakdhe Hardjosubroto (Kakak Ibu yang tertua), Oom Sukaryo (Adik Ibu yang mendapat titel KRT Tondokusuma dari Keraton Jogjakarta), juga Oom Sudiyono (Adik bungsu Ibu) kumpul bersama, bergurau habis mereka empat saudara itu. Ada saja bahan yang diguraukan.
Bapak cerita pengalaman semasa sekolah di Muntilan. Waktu itu, asrama masih dipimpin pastor Belanda. Bagi orang Jawa sederhana, semua orang Belanda punya senjata api. Suatu malam, asrama Bapak gaduh karena ada yang teriak “Maling!”. Seluruh penghuni geger dan turun tempat tidur. Mereka lari keluar tanpa tahu harus berbuat apa.
Dalam keributan itu, Bapak bertemu dengan sosok yang belum dikenalnya di dekat gerbang. Spontan Bapak teriak, “Jangan bergerak! Tak tembak kowe!” Sosok itu jatuh berjongkok dan gemetar. “Jangan ditembak, Ndoro … saya bukan maling..”. Saat menengok ke kanan kiri, ternyata tak ada seorang pun teman Bapak di situ. Bapak pun ganti ketakutan dan berteriak, “Hoooi .. malingnya ada di sini…” Teman-teman Bapak segera berdatangan. Bapak merasa lega lalu berkata pada teman-temannya. “Itu malingnya! Awasi dia .. Bawa pistol ini..,” kata Bapak sambil mengulurkan tangannya pada si teman. Eh, temannya heran dan bertanya, “Pistol apa? Mana?” Bapak jadi kecipuhan menghadapi teman yang tak bisa diajak pura-pura. Untung romo pimpinan asrama datang dan segera membawa maling tadi ke polisi.
Cerita lainnya. Kalau belanja ke toko milik orang Tionghoa, Bapak selalu menawar dengan bahasa China. Kalau pas ikut Bapak, kami terpaksa menjauh supaya tidak keceplosan tertawa. Biasanya penjaga atau pemilik toko bisa dikibuli Bapak dan memberi diskon. Kunjungan Bapak ke toko selalu ditutup dengan kata-kata, “Kamsya ya Koh!”
Dasar wajah Bapak memang mirip-mirip China dan itu menurun pada Wiwik (M. Prastiwi) dan Iyas (MM. Priyastuti). Sampai kini, kalau mereka berdua ke Pasar Demangan, para pedagang selalu menyapa, “Pados nopo Cik?”
Waktu masih mengajar di SPG 1, saya punya teman bernama Bapak Supartoyo. Beliau adalah murid Bapak di SMK Kusumayudan, Solo. Pak Partoyo ini bercerita bahwa yang diingat dari Bapak adalah waktu itu Bapak jadi petugas penarik uang sekolah. Kebanyakan murid ini adalah bekas pejuang yang belum tentu punya duit. Jika masuk kelas, Bapak selalu senyam senyum, lalu bicara, “Siapa yang kepingin guru-gurunya masih mengajar di sini, silakan pasok sama saya. Apa ada yang sudah bawa duit?” Lalu dijawab sama-sama, “Beluuuuum..” Sambil nyengir, Bapak keluar kelas.
Zama dulu, sering ada penjual sapu atau nyiru yang mampir ke rumah, menawarkan dagangan. Sambil menunggu Ibu mengambil uang, Bapak sering mengadakan wawancara. Lalu tercipta dialog begini :
Bapak : Rumahnya di mana Pak?
Pedagang : Dari Desa Tunut, Romo (Bapak sering dipanggil Romo, sebagai penghormatan)
Bapak : Sebelah mana perempatan yang ada gardunya itu? (Hampir semua desa ada perempatan dengan pos ronda, kan?)
Pedagang : Ke selatan sedikit, Romo ..
Bapak : Dengan Pak Wangsa yang punya gerobak itu? (Waktu itu, di tiap desa pasti ada yang punya gerobak sapi)
Pedagang : Bukan Pak Wangsa Romo, tapi Pak Warsa
Bapak : Oh, saya dengar yang punya Pak Wangsa ..
Pedagang : Dulu memang, tapi sudah dijual…
Kami yang mendengar dialog itu selalu menjauh biar tidak tertawa, sehingga membuka kedok Bapak. Sebenarnya Bapak cuma bergurau, tapi ditanggapi serius oleh si pedagang. Memang Bapak bisa menciptakan wajah yang serius, meskipun sedang bergurau.
Bapak juga suka membuat suasana jadi ceria. Misalnya waktu latihan koor Gregorius Gereja Baciro, yang jika berlatih selalu berpindah dari rumah ke rumah. Dalam latihan, biasanya mereka berlatih not-nya. Setelah menguasai not baru woorden (Bahasa Belanda, artinya kata-kata atau syair). Meski bukan pimpinan, pelatih, atau dirigen, Bapak selalu berkata, “Yo kita belajar notnya dulu, nanti kalau sudah bisa baru woordennya..” Ketika tiba saat istirahat dan keluar nyamikan berupa gorengan, Bapak menyeletuk, “Wah .. ini woordennya keluar..” Geeeerrr .. Semua ketawa. Sejak itu, konsumsi dalam latihan koor Gregorius disebut woorden.